Selasa, 11 Juni 2013

Bung Karno…
Apa kabar kau di tempat peristirahatanmu yang tenang?
Maaf, mungkin aku tak patut memangilmu dengan panggilan “Bung” sebab kau sepadan dengan kakekku. Tapi bagiku kau bukanlah seorang kakek tua yang mati lantaran segalanya telah berakhir. Kau lebih dari itu. Kau selalu hidup. Kau selalu menemani semua langkah rakyatmu kapan pun dan dimana pun. Namamu selalu tertutur saat anak bangsa bercengkerama tentang kemerdekaan. Oleh karena itu, perkenankan aku memanggilmu “Bung” karena kau tak pernah tua. Tak pernah mati. Tak pernah hilang. Tak pernah musnah. Dan tak pernah senyap.

Bung Karno...
Ajari aku, apa itu bangsa? Apa itu nasionalisme? Nasehati aku, apa itu cinta tanah air? Apa itu kedaulatan? Ceramahi aku, bagaimana seharusnya anak bangsa membela kehormatan bangsanya? Beritahu aku, kenapa wibawa negara bisa mengembang dan pula mengempis? Apa sebab negri kita semakin diinjak-injak oleh negri lain, Bung?  Apa alasan para pemimpin kita sekarang hingga mereka sudi mencium alas kaki para penguasa barat dan Amerika? Bung, bicaralah jangan hanya diam! Gerakkan mulutmu yang masih mengatup itu! Astaga, alih-alih kau bersuara, kau malah menitikkan air mata.

Bung Karno...
Sungguh, aku kagum kepadamu. Dalam berpenampilan saja, kau mampu mengajak rakyatmu bagaimana seharusnya bernegara? Pada tahun 1920-an kau tampil mengenakan peci hitam khas melayu usai kau melihat tukang sate bertelanjang kaki dan dada tapi mengenakan peci. Dengan peci hitam itu kau tampak berwibawa, Bung. Tahun 1945 dengan bangganya kau desain sendiri baju safari dengan kantong ala perwira, seakan kau ingin mengajarkan pada rakyat saat itu adalah masa geting, keadaan masyarakat labil dan negara carut marut butuh tongkat yang kuat untuk berpegangan.

Bung Karno...
Entah, berapa kali kau masuk keluar penjara? Diasingkan kesana-kemari hanya untuk kedaulatan sebuah bangsa. Tidak seperti pemimpin negri kita saat ini, Bung. Justru mereka takut dipenjara lantaran telah mengeruk uang negara. Hai Bung, mengapa air matamu semakin deras? Sekalah sejenak sampai aku selesai bicara. Oh iya Bung, dulu kau pernah berkata, "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu lebih sulit karena akan melawan bangsamu sendiri."

Bung Karno...
Kemerdekaan telah kita raih tapi aku tak paham apa itu kemerdekaan? Sebab apa yang aku pelajari di sekolah sangat bertolak-belakang dengan apa yang aku dengar dan baca di berita? Sebenarnya apa hakikat kemerdekaan, Bung? Tapi aku masih hafal dan ingat penggalan pidatomu tahun 1948 : Kemerdekaan tidak menyudahi soal-soal, kemerdekaan malah membangun soal-soal, tetapi kemerdekaan juga memberi jalan untuk memecahkan soal-soal itu. Hanya ketidak-kemerdekaanlah yang tidak memberi jalan untuk memecahkan soal-soal ... Rumah kita dikepung, rumah kita hendak dihancurkan .... Bersatulah Bhinneka Tunggal Ika. Kalau mau dipersatukan, tentulah bersatu pula. Meski aku tak paham betul tapi itulah jawabanku ketika ditanya orang, apakah makna kemerdekaan?

Bung Karno...
Ada beberapa hal yang menggelitik bagiku mungkin juga bagimu. Mau tahu kah kau apa itu? Usaplah dulu pipimu yang penuh akan luapan kesedihan itu. Bung, saat ini Indonesia hanya milik orang Islam. Slogan yang dulu selalu kau gadang-gadang “Bhineka Tunggal Ika” kini luntur hingga mengapur. Pancasila yang dulu kau rembukkan dengan para perintis negara hendak dihapus dan diganti. Dan kata “Presiden” ingin dirubah menjadi “Khalifah”. Tahu kah kau Bung, mereka hanyalah anak bangsa yang mempelajari islam hanya sebaris dua baris. Mereka bukan se-level KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim As’ary, KH. Agus Salim, KH. Wachid Hasyim yang notabene mereka menguasai Islam secara utuh hingga melalang-buana mencari ilmu di belantara Timur-Tengah. Dan yang paling membuat bibir kita tersungging, identitas seorang muslim kini dijadikan syarat mutlak dalam pemilihan umum pemimpin kita, Bung. Sebagian ulama mengharamkan memilih calon pemimpin yang non muslim dengan berdalih ini-itu. Tapi bukankah dulu kau sangat dekat dan sering bermusyawarah tentang pembebasan kedaulatan bangsa dengan Alexander Andries Maramis yang beragama kristen, Bung? Satu lagi, Bung. Ada anak bangsa yang ngotot ingin jadi Presiden sebab ada dorongan hati untuk membenahi negara ini. Awalnya, kita salut sebab tujuan sucinya itu sangat menyentuh hati namun untuk apa tujuan suci jika tidak dibarengi dengan keahlian dan kecakapan bernegara. Bung, bisakah mempersatukan rakyat ini hanya dengan sebuah lirik lagu? Mampukah menentramkan perut masyarakat dengan rangkaian kalimat ceramah? Sedang APBN ini dan itu, dia tak tahu menahu. Bukankah kau pernah melantangkan suaramu saat upacara peringatan kemerdekaan negara tahun 1950:
"Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan turunnya sitiga warna. Selama masih ada ratap tangis digubuk-gubuk, belumlah pekerjaan kita selesai! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyaknya keringat."

Bung Karno...
Aku tak akan mengungkit sebab-sebab kau dipaksa mundur dari jabatan Presiden. Karena bagiku kau lebih dari Presiden. Aku pun tak akan membeberkan nama-nama istrimu. Sebab alam pemikiranmu lebih indah dan berhikmah ketimbang kehidupan pribadimu. Dan jua aku tak ingin mengingat-ingat cerita kematianmu yang amat tragis, Bung. Lantaran kau selalu hidup bersama Indonesiamu.

Bung karno...
Ajari dan didik aku agar diriku terhiasi sifat dan sikap nasionalisme. Berbicaralah, sungguh akan aku dengarkan. Aku catat, bahkan aku rekam kuliah singkat darimu. Tak perlu kau ajarkan ilmu politik kepadaku seperti Tjokroaminoto mengajarimu. Cukup kau ajari aku bagaimana seharusnya ucap dan sikap anak bangsa? Bung, saat ini aku berada di negri keduaku, Mesir. Negara pertama bersama Palestina yang mengakui kedaulatan negri kita, Indonesia. Kau tak hanya sekali kesini, Bung. Kau teman karib Jamal Abdul Nasher kan? Hah! Kau bilang tak ada negri kedua? Maaf, Bung. Maafkan aku. Aku belum begitu mengerti makna nasionalisme sehingga aku sebut Mesir sebagai negri keduaku. Baik, mulai saat ini negriku hanya satu, tanah air Indonesia. Tapi Bung, bukankah Presiden kita yang sekarang dulu pernah bertutur bahwa, “Amerika Serikat adalah negri kedua saya. Saya mencintainya dengan berbagai kesalahannya.” Kalau tak salah, itu diucapkannya saat dia menjadi salah satu menteri putrimu.

Bung Karno...
Bukan maksudku sok tahu politik dan kemaruk akan kesemrawutan negara. Tapi setidaknya, aku yang alumni pesantren dan sedang menimba ilmu jauh dari ibu pertiwi, tahu dan tidak apatis tentang apa yang terjadi di negri kita. Aku hanya tak mau kalah dengan para mahasiswa –Trisakti- yang tak hanya membaca dan menghafal diktat kuliah saja tapi dengan semangat kebangsaannya telah mampu meruntuhkan kekuasaan penuh kolusi dan nepotisme Soeharto yang dulu pernah menyalahgunakan wewenang yang kau amanatkan, Bung. Apakah aku salah lagi, Bung? Syukurlah, jika kau menggelengkan kepala. Motto hidupmu selalu tertancap di sanubariku Bung, "Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau jatuh di antara bintang-bintang."

Bung Karno...
Jika kelak aku sudah menginjakkan kaki lagi di negri kita, aku janji akan mengabdi. Tak harus di kursi pemerintahan tapi juga bisa di kampung-kampung dan kelurahan. Tak harus mengais gaji besar hingga jadi orang kaya sebab aku disini difasilitasi dan diberi beasiswa.

Bung Karno...
Baiklah, jika kau masih tak kuasa menahan sesenggukan tangis, aku tak akan memaksamu mengajariku hakikat kedaulatan bangsa. Tapi aku kagum kepadamu. Kau tak hanya seorang artifisial yang mampu membuat rakyatmu terkesima akan penampilanmu tapi kau sosok yang mempunyai alam pemikiran luas dan dalam terhadap bangsa. Tidak seperti mereka yang sibuk mencari muka, menebar pesona di depan kamera. Kau mampu merubah negri ini. Negri kerdil yang dijajah berabad-abad lamanya hingga menjadi negara merdeka yang mampu mengibarkan sangsaka merah-putih sebagai simbol negara. Kau mendongakkan kepala di depan para pemimpin negara tatkala bangsamu baru seumur jagung Jawa. Seakan kau tunjukkan dunia besarnya wibawa dan kehormatan bangsa kita.

Bung Karno...
Sudahlah, kembalilah kau ke tempat peristirahatanmu. Usaplah air matamu dan basuhlah wajah bengkakmu yang penuh kerutan itu. Terima kasih, setidaknya kau mengajariku nasionalisme tingkat dasar tak ada negri kedua selain Nusantara - Indonesia.


Kairo, 12-12-2012


Oleh: Achmad Ainul Yaqin
(Mahasiswa Jurusan Hadis, fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo-Mesir dan Alumni Pondok Pesantren Al-Qur’an “Nurul Huda”, Singosari, Malang-Jawa Timur )

1 komentar:

  1. Afwan, sikap nasionalisme itu baik. Akan tetapi rasa nasionalis tersebut tidak boleh sampai menjadi penyekat atau pembatas persaudaraan dan persatuan umat-umat muslim sedunia. (Palestina, Mesir, Suriyah dan negara-negara Islam lainya).
    Mungkin seandainya Rasulullah Muhammad SAW masih dihadapan kita maka akan meneteskan air mata yang melebihi air mata Bung Karno jika melihat umatnya terpecah-pecah oleh rasa nasionalisme dinegara masing-masing.

    Naudzulillahimindzalik. Semoga kita termasuk umat yang diridhoi Allah untuk mengembalikan kejayaan Islam seperti masa Rosulullah SAW dan Para sahabat.

    BalasHapus