Pemerintah Indonesia telah
merencanakan untuk membangun PLTN yang loksinya sudah di tentukan yaitu di
Jepara Jawa tengah dan Bangka Blitung. Tapi pembangunan PLTN ini masih
diperdebatkan (pro dan kontra) yaitu mempertimbangkan untung dan ruginya jika
kita membangun PLTN yang sarat dengan resiko jika terjadi Ledakan Reaktor
Nuklir seperti yang terjadi di jepang 11 Maret 2011. Pembangkit Listrik Tenaga
Nuklir (PLTN) adalah stasiun pembangkit listrik thermal di mana panas yang
dihasilkan diperoleh dari satu atau lebihreaktor nuklir pembangkit listrik.
Pasca gempa dan tsunami
yang melanda Jepang pada tanggal 11
Maret 2011, menebarkan teror tersendiri yang disebabkan meledaknya reaktor
nuklir Fukushima akibat overheating,
walaupun pihak Badan Keselamatan Nuklir dan Industri Jepang (NISA)
menegaskan, tak kan ada efek bagi kesehatan selama warga mengungsi seperti yang
diperintahkan.
Mungkin public acceptance
yang berhubungan erat dengan minimnya informasi mengakibatkan masyarakat selalu
menghubungkan meledaknya reaktor nuklir dengan sejarah kelam Hiroshima dan
Nagasaki kemudian disusul musibah Chernobyl menambah teror tanpa pemberitaan
berimbang.
Kebanyakan masyarakat kita
sudah ngeri duluan jika mendengar kata NUKLIR. Betul, efek negatifnya
mengerikan. Ilmuwan-ilmuwan yang bergelut dengan radioaktivitas sendiri bahkan
menjadi korbannya. Ambil contoh Marie Curie. Ilmuwan wanita kelahiran Warsawa,
Polandia, yang bersama suaminya, Piere Curie, berhasil menemukan dua unsur
radioaktif yaitu polonium dan radium, meninggal dunia akibat kanker. Diduga
kanker ini disebabkan karena sang ilmuwan berinteraksi cukup lama dengan
bahan-bahan radioaktif. Meski sebenarnya teknologi nuklir ini juga dapat
digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Seperti PLTN (asal tidak meledak
seperti di Fukushima atau Chernobyl), pemanfaatan dalam bidang kedokteran,
industri, hidrologi maupun pertanian. Atau pemanfaatan dalam teknologi kapal
selam berbahan bakar nuklir yang tidak menghasilkan gas buangan.
Nuklir memang tidak
sempurna dan mahal untuk dibangun. Tetapi selain target kebutuhan pada tahun
2025 yang harus mulai dipersiapkan semenjak dini, perlu diingat bahwa hingga
kini baru 66 % penduduk Indonesia yang menikmati listrik. Sejauh ini nuklir
sudah memenuhi 15 % kebutuhan listrik dunia dan mencegah emisi 2,1 milyar ton
CO2 per tahun. Sementara dibenua Eropa sudah dibagun 144 PLTN.
Pemilihan nuklir mungkin
dapat dianalogikan dengan pemilihan menggunakan pesawat terbang ketika
bepergian jauh. Alasan utama orang menggunakan pesawat terbang bukan karena
percaya pada pilotnya tetapi karena manfaatnya yang signifikan dibandingkan
resikonya. Sebagian besar orang menganggap bahwa Manfaat menggunakan pesawat
terbang sebanding dengan resiko yang mungkin terjadi.
Energi nuklir merupakan
jawaban bagi kemungkinan terjadinya krisis energi di Indonesia pada masa depan.
Selain bahan baku yang masih melimpah dan efisien, teknologi tersebut relatif
aman. Dr Hanan Widiharto mewakili tim prodi Teknik Nuklir, Jurusan Teknik
Fisika, Fakultas Teknik Universitas Gajahmada, Yogyakarta, Selasa (22/3/2011),
mengatakan bahwa kebutuan energi listrik Indonesia saat ini adalah 30.000
megawatt.
Dari kebutuhan tersebut,
baru 60 persen yang terpenuhi. Akibatnya, banyak daerah di Indonesia yang belum
terjangkau listrik. Jika mengacu pada visi Indonesia 2025, kebutuhan energi
yang dibutuhkan, baik untuk penerangan, maupun pengembangan industri, mencapai
100.000 megawatt.
Jika mengandalkan sumber
energi di luar nuklir, pemenuhan kebutuhan tersebut akan sulit dipenuhi. Hanan
Widiarto menuturkan, secara teoretis, Indonesia memiliki potensi energi
geotermal sebesar 27.000 megawatt. Namun, jika direalisasikan, maka kemungkinan
yang diperoleh hanya 9.000 megawatt. Untuk sumber energi hidro, Indonesia
memiliki potensi sekitar 30.000 megawatt. Namun jika direalisasikan, sumber ini
kemungkinan hanya akan menghasilkan energi setara 10.000 megawatt.
Sementara itu, jika memanfaatkan
energi matahari, selain mahal dalam hal investasi, dibutuhkan sel surya seluas
20 kilometer persegi untuk memperoleh energi sebesar 1.000 megawatt. Jika yang
akan dikembangkan adalah bioenergi, maka untuk mendapatkan energi sebesar 1.000
megawaat setidaknya dibutuhkan lahan untuk penanaman bahan baku seluas 300
kilometer persegi.
Lain halnya jika kita
memanfaatkan teknologi nuklir. Untuk memperoleh energi sebesar 1.000 megawatt,
cukup dibutuhkan 1 unit reaktor nuklir. “Teknologinya sudah ada. Indonesia
memiliki banyak pakar nuklir. Bahan baku juga melimpah. Yang dibutuhkan adalah
sosialisasi dan pendidikan kepada masyarakat tentang bagaimana hidup
berdampingan dengan nuklir,” kata Hanan Widiarto.
Pro dan kontra tentang
pembuatan reaktor nuklir di Indonesia ini bisa disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan masyarakat tentang manfaat dan kerugian dari pemakaian energi
nuklir. Masyarakat Indonesia perlu mengetahui tentang energi nuklir. Karena ini
bisa menanggulangi pemikiran rata-rata masyarakat yang menganggap bahwa energi
nuklir sangat berbahaya. Padahal dibandingkan bahayanya, manfaat energi nuklir
lebih besar. Sehingga krisis energi di Indonesia bisa diatasi demi mewujudkan
kesejahteraan hidup bagi bangsa Indonesia.
Wallahu a’lamu bish
shawaab :)
oleh : Hamim Tohari,
Mahasiswa Prodi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Gadjah Mada
0 komentar:
Posting Komentar