Selasa, 25 Juni 2013


Pemerintah Indonesia telah merencanakan untuk membangun PLTN yang loksinya sudah di tentukan yaitu di Jepara Jawa tengah dan Bangka Blitung. Tapi pembangunan PLTN ini masih diperdebatkan (pro dan kontra) yaitu mempertimbangkan untung dan ruginya jika kita membangun PLTN yang sarat dengan resiko jika terjadi Ledakan Reaktor Nuklir seperti yang terjadi di jepang 11 Maret 2011. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) adalah stasiun pembangkit listrik thermal di mana panas yang dihasilkan diperoleh dari satu atau lebihreaktor nuklir pembangkit listrik.

Pasca gempa dan tsunami yang melanda Jepang  pada tanggal 11 Maret 2011, menebarkan teror tersendiri yang disebabkan meledaknya reaktor nuklir Fukushima akibat overheating,  walaupun pihak Badan Keselamatan Nuklir dan Industri Jepang (NISA) menegaskan, tak kan ada efek bagi kesehatan selama warga mengungsi seperti yang diperintahkan.

Mungkin public acceptance yang berhubungan erat dengan minimnya informasi mengakibatkan masyarakat selalu menghubungkan meledaknya reaktor nuklir dengan sejarah kelam Hiroshima dan Nagasaki kemudian disusul musibah Chernobyl menambah teror tanpa pemberitaan berimbang.

Kebanyakan masyarakat kita sudah ngeri duluan jika mendengar kata NUKLIR. Betul, efek negatifnya mengerikan. Ilmuwan-ilmuwan yang bergelut dengan radioaktivitas sendiri bahkan menjadi korbannya. Ambil contoh Marie Curie. Ilmuwan wanita kelahiran Warsawa, Polandia, yang bersama suaminya, Piere Curie, berhasil menemukan dua unsur radioaktif yaitu polonium dan radium, meninggal dunia akibat kanker. Diduga kanker ini disebabkan karena sang ilmuwan berinteraksi cukup lama dengan bahan-bahan radioaktif. Meski sebenarnya teknologi nuklir ini juga dapat digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Seperti PLTN (asal tidak meledak seperti di Fukushima atau Chernobyl), pemanfaatan dalam bidang kedokteran, industri, hidrologi maupun pertanian. Atau pemanfaatan dalam teknologi kapal selam berbahan bakar nuklir yang tidak menghasilkan gas buangan.

Nuklir memang tidak sempurna dan mahal untuk dibangun. Tetapi selain target kebutuhan pada tahun 2025 yang harus mulai dipersiapkan semenjak dini, perlu diingat bahwa hingga kini baru 66 % penduduk Indonesia yang menikmati listrik. Sejauh ini nuklir sudah memenuhi 15 % kebutuhan listrik dunia dan mencegah emisi 2,1 milyar ton CO2 per tahun. Sementara dibenua Eropa sudah dibagun 144 PLTN.

Pemilihan nuklir mungkin dapat dianalogikan dengan pemilihan menggunakan pesawat terbang ketika bepergian jauh. Alasan utama orang menggunakan pesawat terbang bukan karena percaya pada pilotnya tetapi karena manfaatnya yang signifikan dibandingkan resikonya. Sebagian besar orang menganggap bahwa Manfaat menggunakan pesawat terbang sebanding dengan resiko yang mungkin terjadi.

Energi nuklir merupakan jawaban bagi kemungkinan terjadinya krisis energi di Indonesia pada masa depan. Selain bahan baku yang masih melimpah dan efisien, teknologi tersebut relatif aman. Dr Hanan Widiharto mewakili tim prodi Teknik Nuklir, Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik Universitas Gajahmada, Yogyakarta, Selasa (22/3/2011), mengatakan bahwa kebutuan energi listrik Indonesia saat ini adalah 30.000 megawatt.

Dari kebutuhan tersebut, baru 60 persen yang terpenuhi. Akibatnya, banyak daerah di Indonesia yang belum terjangkau listrik. Jika mengacu pada visi Indonesia 2025, kebutuhan energi yang dibutuhkan, baik untuk penerangan, maupun pengembangan industri, mencapai 100.000 megawatt.

Jika mengandalkan sumber energi di luar nuklir, pemenuhan kebutuhan tersebut akan sulit dipenuhi. Hanan Widiarto menuturkan, secara teoretis, Indonesia memiliki potensi energi geotermal sebesar 27.000 megawatt. Namun, jika direalisasikan, maka kemungkinan yang diperoleh hanya 9.000 megawatt. Untuk sumber energi hidro, Indonesia memiliki potensi sekitar 30.000 megawatt. Namun jika direalisasikan, sumber ini kemungkinan hanya akan menghasilkan energi setara 10.000 megawatt.

Sementara itu, jika memanfaatkan energi matahari, selain mahal dalam hal investasi, dibutuhkan sel surya seluas 20 kilometer persegi untuk memperoleh energi sebesar 1.000 megawatt. Jika yang akan dikembangkan adalah bioenergi, maka untuk mendapatkan energi sebesar 1.000 megawaat setidaknya dibutuhkan lahan untuk penanaman bahan baku seluas 300 kilometer persegi.

Lain halnya jika kita memanfaatkan teknologi nuklir. Untuk memperoleh energi sebesar 1.000 megawatt, cukup dibutuhkan 1 unit reaktor nuklir. “Teknologinya sudah ada. Indonesia memiliki banyak pakar nuklir. Bahan baku juga melimpah. Yang dibutuhkan adalah sosialisasi dan pendidikan kepada masyarakat tentang bagaimana hidup berdampingan dengan nuklir,” kata Hanan Widiarto.

Pro dan kontra tentang pembuatan reaktor nuklir di Indonesia ini bisa disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat tentang manfaat dan kerugian dari pemakaian energi nuklir. Masyarakat Indonesia perlu mengetahui tentang energi nuklir. Karena ini bisa menanggulangi pemikiran rata-rata masyarakat yang menganggap bahwa energi nuklir sangat berbahaya. Padahal dibandingkan bahayanya, manfaat energi nuklir lebih besar. Sehingga krisis energi di Indonesia bisa diatasi demi mewujudkan kesejahteraan hidup bagi bangsa Indonesia.
Wallahu a’lamu bish shawaab :)


oleh : Hamim Tohari,
Mahasiswa Prodi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Gadjah Mada

0 komentar:

Posting Komentar