Dewasa ini sering kali
kita mendengar ungkapan “mungkin ini sudah takdir saya” ada juga yang
menganggap ungkapan tersebut adalah bentuk kemalasan dari si pengucap. Hal ini
sangat mengganggu cara berpikir kita, mempengaruhi setiap tindakan kita,
meragukan kita dalam melangkah, mengambil keputusan, bahkan hingga merusak
keyakinan kita sebagai seorang Muslim yang seharusnya berkeyakinan teguh,
searah dan tentunya tidak menyimpang dari Al-qur’an, As-sunnah, ijmak dan
qiyas. Sekarang mari kita coba sedikit mengenal lebih jauh tentang makna takdir
yang mungkin sempat terlewati dari apa yang telah kita pelajari selama ini
sebagai seorang yang notabenenya memiliki predikat santri atau bahkan bagi kita
yang sama sekali belum pernah mengenal dunia pesantren.
Dari keterangan di atas
bisa kita klasifikasikan pemahaman kita tentang takdir menjadi dua golongan;
Pertama, yaitu golongan yang ketika gagal dalam suatu hal lalu mereka gemar
mengatakan “mungkin ini sudah takdir saya” tanpa memperhatikan dan atau
mengoreksi penyebab mereka gagal lalu berusaha memperbaikinya. Kedua, yaitu
golongan yang terlalu menyandarkan kegagalan dan kesuksesan mereka dengan
seberapa keras usaha yang mereka lakukan, hingga tanpa disadari mereka seakan
menafikan andil Allah Jalla Jalaaluhu di dalamnya. Dalam hal ini saya tidak
lagi membahas tentang takdir mubram dan muallaq, namun dari sudut pandang lain
sesuai dengan pengalaman dan pemahaman saya tentang takdir. Sebelumnya ijinkan
saya untuk menggunakan kata “saya” dalam tulisan ini, juga harap dimaklumkan
jika banyak menggunakan kata tak baku, karena sebagaian besar isi banyak
menyangkut pengalaman dan pemikiran saya. Juga membuat bahasa lebih terasa
santai untuk mempermudah pemahaman isi dan dapat dicerna dengan baik. Sekali
lagi, yang terpenting tujuan isi tersampaikan dengan tepat serta mudah
dimengerti.
Sebelum jauh memahami
istilah takdir ini, mari kita awali dengan membaca ta’awwudz dan basmalah, dengan
harapan dijauhkan dari gangguan setan serta mengharap ridha Allah Swt. Dari
judul yang ada sudah tersirat jelas saya lebih condong pada golongan yang
pertama meski perlu ada sedikit cara berpikir ataumindset yang diubah. Namun
okelah, untuk lebih memberi penjelasan yang mencerahkan mari dengan hati yang
netral tanpa mengedepankan nafsu kita kaji secara detail kedua golongan
tersebut beserta dasar-dasar mereka dalam pemahamannya itu. Golongan yang
pertama sudah mendekati benar dalam memaknai takdir, hanya saja perlu ada
sedikit pembenahan dalam menjalaninya. Syekh Tajuddin Ibnu Ata’illah Assakandari
dalam Hikamnya banyak menyinggung tentang hal ini, diantaranya dawuh Beliau : maa
min nafsin tubdiihi illa wa lahu qadarun fiika yumdhiihi yang artinya; (Tiada
satu pun nafas hilang dari diri seseorang, kecuali lepas karena takdir Ilahi),
penjelasan ini sesuai dengan keterangan syarahnya yang ada pada kitab “Ihkamul
Hikam fi Syarhil Hikam” yang berarti apa pun yang ada di balik nafas kita,
kehidupan kita, keseharian kita tanpa terkecuali semuanya telah bertakdir.
Segala sesuatu yang sudah terjadi pada diri kita adalah takdir, gagal, sukses,
susah, bahagia, yang sudah kita lalui itu takdir. Lalu bagaimana dengan sesuatu
yang belum kita jalani, hari esok, lusa, masa depan kita hingga keadaan kita
ketika meninggal?. Itu semua juga takdir, akan tetapi takdir itu hanya
diketahui oleh Allah Jalla Jalaluhu. Jadi bisa disimpulkan ada dua takdir yang
harus kita mengerti baik-baik, satu takdir yang kita ketahui yaitu segala
sesuatu yang sudah terjadi, dan yang kedua adalah takdir yang hanya Dia Sang
Aliimul Khabir yang Tahu.
Seperti yang pernah saya
tulis dalam status facebook bahwa “mengikhlaskan adalah jalan satu-satunya bagi
ketidaksesuaian takdir yang sudah kita jalani dengan harapan yang kita
ingin-inginkan. Berusaha memperbaiki adalah salah satu solusi untuk menyambut
takdir yang belum terjalani, sebab semua sudah bertakdir”.Asal mula status itu
berkenaan dengan apa yang saya alami baru-baru ini, ada sedikit ketidaksesuaian keinginan saya dengan kemauan Ayah saya dalam sebuah keputusan –agak
privasi mungkin untuk di ekspose–. Sudah banyak upaya yang saya lakukan untuk
memberi pengertian kepada beliau, namun tetap sia-sia. Akhirnya layaknya orang
yang hampir putus asa, saya mencoba menghibur hati, berfikir positif,
menyandarkan segala usaha ini kepada Yang Maha Menentukan seraya berharap
diberi kekuatan untuk mengihlaskan. walhasil, alhamdulillah saya mulai bisa
mengikhlaskan dan bersemangat untuk menyambut dengan lapang dada apa yang akan
dilakukan_Nya untuk kehidupan saya di masa mendatang. Jadi tugas kita untuk takdir
yang belum kita jalani, tak lebih hanya menyambutnya. Tentu yang namanya
menyambut itu butuh persiapan, perbaikan dan perubahan dari yang kemarinnya
tidak baik menuju yang lebih baik, dari yang malas menjadi semangat, dari
teledor berusaha teliti. Karena memang ranah usaha kita tak lebih adalah hanya
untuk persiapan tersebut, yaitu persiapan menyambut takdir yang akan kita
jalani nantinya.
Dengan begini kita dapat
meminimalisir kemungkinan stress dan saling menyalahkan ketika yang terjadi
tidak sesuai dengan harapan. Syekh Ibnu Ata’illah juga sudah mengingatkan bahwa
i’timad ‘alal a’maal (menyandarkan segala sesuatu pada usaha) itu dilarang, di
awal kitabnya beliau dawuh min ‘alaamaati al-i’timaadi ‘ala al-‘amali nuqshanu
ar-rajaa’i ‘inda wujuudi az-zalali (tanda-tanda bergantungnya kita pada usaha
adalah kurangnya kita berharap pada Yang Kuasa). Dengan kata lain, ketika kita
terlalu bergantung pada usaha kita yang sangat terbatas ini, maka secara tidak
sadar harapan kita kepada_Nya semakin berkurang.Ingat, cobaan berupa takdir
buruk itu bukan untuk menguji seberapa kuatnya diri kita menghadapinya,
melainkan seberapa sabar kita untuk terus meminta pertolongan hanya kepada_Nya.
Kemudian diteruskan dengan dawuh beliau yang berbunyi sawabiqu al-himami laa
tahriqu aswaara al-aqdaari (sekuat apapun semangat kita tak akan mampu menembus
dinding takdir).
Pernah suatu ketika
terpampang di beranda facebook saya sebuah status yang memaksa saya berfikir
keras. Status itu tak lain milik sahabat saya sendiri, sebut saja Mbah Jagad
¬–bukan nama sesungguhnya–, bunyinya kurang lebih seperti ini “ barang kali Dia
–Allah- mentakdirkan bahwa yang menentukan takdir kita adalah diri kita
sendiri”. Jika kita berusaha karena sadar bahwa usaha itu merupakan
perintah_Nya, maka hal itu tak perlu dikhawatirkan lagi, sebab dengan begitu
berarti kita telah mentakdirkan diri kita sesuai dengan perintah_Nya. Intinya,
karena lemahnya kita, samarnya kehidupan mendatang, rabunnya kita akan masa
depan, maka Allah memerintahkan kita – sebagai makhluknya atau bahkan
khalifahnya di bumi – untuk berusaha dan terus berusaha, belajar tidak membuat
kerusakan, memperbaiki segala kesalahan yang terlanjur terjadi. Berusaha
semaksimal mungkin untuk pantas menyandang gelar khalifah, dan yang perlu digaris
bawahi adalah itu semua kita lakukan bukan semata-mata karena mengharap hasil,
melainkan karena memang perintah dari Allah Jalla Jalaaluhu. Satu lagi yang
harus kita sadari bahwa dengan hak paten_Nya Dia memastikan bahwa segala
sesuatu yang baik datangnya dari_Nya dan yang buruk itulah hasil karya kita
sendiri.
Golongan yang kedua yaitu
golongan yang terlalu mengagung-agungkan usaha, kadang saking enaknya dengan
usahanya mereka tak jarang mengorbankan manusia lainnya, teman, kerabat atau
bahkan saudara dekat pun haknya mereka embat.Mereka beralasan demi perubahan.
Misalnya; demi mencapai kesuksesan yang diharapkan biasanya orang tua sering
kali memaksa anaknya untuk melakukan apa yang dia inginkan. Ketika terjadi
sesuatu yang tidak diharapkan anak jadi sasaran kemarahan. Begitu juga dengan
seorang atasan dalam sebuah perusahaan, sering kali anak buah dijadikan
bulan-bulanan, cacian, hinaan hanya karena sedikit melakukan kesalahan,
gara-gara rizki banyak istri menyalahkan suami. Seperti halnya suami yang
menyalahkan istri, tak puas dan kemudian cari istri lagi, dan yang lain masih
banyak lagi. Yang sangat riskan bahkan dari kalangan pemuka agama – yang gaya
berfikir mereka terlalu ekstrim – sering kali menghina saudara-saudaranya yang
tak sepaham dengan modal menyitir ayat-ayat yang dipas-paskan sesuai
pemikirannya. Terutama yang sering jadi sasaran mereka adalah kaum-kaum sufi,
ahli thariqah yang notabenenya sangat wara’, zuhud dan tidak terpengaruh zaman.
Mereka berdalih dengan menyitir ayat yang tak asing di telinga kita yaitu
“innaLlaha laa yughayyiru maa bi qaumin hatta yughayyiru maa bi anfusihim” yang
artinya menurut mereka adalah (sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib
suatu kaum sampai mereka mengubah nasib mereka sendiri) jika maksudnya seperti
ini, sungguh seakan menafikan sifat Allah yang ala kulli syai’in Qadiir
Berkuasa atas segala sesuatu. Saking seringnya diucapkan, didalilkan, diobral
ke sana kemari akhirnya ayat ini kini seakan ditelanjangi, kehilangan
kesakralannya sebagai ayat Al-qur’an yang suci.
Untuk kali ini izinkan
saya meminjam pemikiran Gus Mus, dalam bukunya yang berjudul “Membuka Pintu
Langit”. Beliau menjelaskan bahwa lafal “maa” dalam ayat itu masih mubham,
disamarkan, lalu kenapa seenaknya kita mengartikan dengan makna nasib?. Beliau
menekankan bahwa “maa” yang mubham itu diperjelas di ayat lain yaitu surah
Al-anfaal ayat 53 “dzalika biannaLllaha lam yaku mughayyiran ni’matan an’amaha
‘alaa qaumin hatta yughayyiru maa bianfusihim” yang artinya; ( [hukuman Allah]
yang demikian itu dikarenakan sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan
mengubah nikmat yang dianugerahkan kepada suatu kaum hingga kaum itu mengubah
apa yang ada pada diri mereka sendiri), jadi makna yang pantas untuk lafal
“maa” tersebut bukan nasib melainkan nikmat, yang berarti ayat ini menekankan
tentang larangan kita berbuat mungkar hingga berakibat dapat menghilangkan
nikmat yang dianugrahkan_Nya untuk kita tersebut. Walhasil, –Allah wa rasuluh
a’lam– ayat ini bukan ayat tentang perubahan, melainkan tentang peringatan. Wa
minal khitaam, mungkin kiranya mahfudzot atau kata mutiara yang dikeramatkan
dalam film Negeri Lima Menara “man jadda wajada” itu perlu untuk ditambah lafal
yang sebenarnya sengaja dihilangkan yaitu lafal “bi idznillah” dengan izin
Allah. Supaya tak sembarang diartikan dan tak serampangan dipahami oleh
masyarakat awam. Wallahu A’lam bis shawaab.
Mulai dari mengamati hujan
yang perlahan membasahi mukabumi,
Embun yang istiqamah
menemani bunga-bunga hingga terbit matahari,
Matahari yang tak lelah memancarkan
cahaya kehidupan yang tak terganti,
Gambaran sedikit tentang
kekuasaan Tuhan,
Seperti jadi saksi,
manusia tak punya sedikit pun kekuatan,
Tapi diam-diam hati ini
merubah segalanya,
Lupa akan segala
nikmat_Nya,
Berpikir bahwa diri ini
lah yang bisa merubah nasibnya sendiri,
Sekali lagi, Ayat Suci
janganlah disalah arti,
Mari kita kaji lebih dalam
lagi,
Bukankah banyak yang
seakan kontradiksi?
Teringat dawuh Syech Ibnu
Atha’illah Assakandari,
Tiada suatu pun nafas
hilang dari diri, kecuali lepas karena takdir Ilahi,
Bukankah sudah terlalu
banyak bukti??
Sudahlah, kita tak berhak
memprediksi Kehendak Gusti,
Yang seharusnya kita
pahami, diri ini hanyalah abdi,
Tak lebih,
Dan seorang abdi hanya
bisa patuh ketika diperintah,
Dia Tuhan memerintah, dan
kita berusaha,
Berusaha bukan karena
ingin merubah,
Tapi hanya sekedar
menjalankan perintah Ilah,
Karena kita memang seorang
abdi,
Selamanya tak akan bisa
merubah nasib kita sendiri,
Gustii..
Bagaimana aku akan dapat
memutuskan padahal Engkaulah Yang Maha Menentukan, namun Bagaimana aku tidak
akan dapat memutuskan padahal Engkaulah Dzat Yang Maha Memerintahkan..
_Huwa
Hu_
Oleh : Achmad Chabibi
(Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang)
0 komentar:
Posting Komentar