Rabu, 12 Juni 2013


Dewasa ini sering kali kita mendengar ungkapan “mungkin ini sudah takdir saya” ada juga yang menganggap ungkapan tersebut adalah bentuk kemalasan dari si pengucap. Hal ini sangat mengganggu cara berpikir kita, mempengaruhi setiap tindakan kita, meragukan kita dalam melangkah, mengambil keputusan, bahkan hingga merusak keyakinan kita sebagai seorang Muslim yang seharusnya berkeyakinan teguh, searah dan tentunya tidak menyimpang dari Al-qur’an, As-sunnah, ijmak dan qiyas. Sekarang mari kita coba sedikit mengenal lebih jauh tentang makna takdir yang mungkin sempat terlewati dari apa yang telah kita pelajari selama ini sebagai seorang yang notabenenya memiliki predikat santri atau bahkan bagi kita yang sama sekali belum pernah mengenal dunia pesantren.


Dari keterangan di atas bisa kita klasifikasikan pemahaman kita tentang takdir menjadi dua golongan; Pertama, yaitu golongan yang ketika gagal dalam suatu hal lalu mereka gemar mengatakan “mungkin ini sudah takdir saya” tanpa memperhatikan dan atau mengoreksi penyebab mereka gagal lalu berusaha memperbaikinya. Kedua, yaitu golongan yang terlalu menyandarkan kegagalan dan kesuksesan mereka dengan seberapa keras usaha yang mereka lakukan, hingga tanpa disadari mereka seakan menafikan andil Allah Jalla Jalaaluhu di dalamnya. Dalam hal ini saya tidak lagi membahas tentang takdir mubram dan muallaq, namun dari sudut pandang lain sesuai dengan pengalaman dan pemahaman saya tentang takdir. Sebelumnya ijinkan saya untuk menggunakan kata “saya” dalam tulisan ini, juga harap dimaklumkan jika banyak menggunakan kata tak baku, karena sebagaian besar isi banyak menyangkut pengalaman dan pemikiran saya. Juga membuat bahasa lebih terasa santai untuk mempermudah pemahaman isi dan dapat dicerna dengan baik. Sekali lagi, yang terpenting tujuan isi tersampaikan dengan tepat serta mudah dimengerti.

Sebelum jauh memahami istilah takdir ini, mari kita awali dengan membaca ta’awwudz dan basmalah, dengan harapan dijauhkan dari gangguan setan serta mengharap ridha Allah Swt. Dari judul yang ada sudah tersirat jelas saya lebih condong pada golongan yang pertama meski perlu ada sedikit cara berpikir ataumindset yang diubah. Namun okelah, untuk lebih memberi penjelasan yang mencerahkan mari dengan hati yang netral tanpa mengedepankan nafsu kita kaji secara detail kedua golongan tersebut beserta dasar-dasar mereka dalam pemahamannya itu. Golongan yang pertama sudah mendekati benar dalam memaknai takdir, hanya saja perlu ada sedikit pembenahan dalam menjalaninya. Syekh Tajuddin Ibnu Ata’illah Assakandari dalam Hikamnya banyak menyinggung tentang hal ini, diantaranya dawuh Beliau : maa min nafsin tubdiihi illa wa lahu qadarun fiika yumdhiihi yang artinya; (Tiada satu pun nafas hilang dari diri seseorang, kecuali lepas karena takdir Ilahi), penjelasan ini sesuai dengan keterangan syarahnya yang ada pada kitab “Ihkamul Hikam fi Syarhil Hikam” yang berarti apa pun yang ada di balik nafas kita, kehidupan kita, keseharian kita tanpa terkecuali semuanya telah bertakdir. Segala sesuatu yang sudah terjadi pada diri kita adalah takdir, gagal, sukses, susah, bahagia, yang sudah kita lalui itu takdir. Lalu bagaimana dengan sesuatu yang belum kita jalani, hari esok, lusa, masa depan kita hingga keadaan kita ketika meninggal?. Itu semua juga takdir, akan tetapi takdir itu hanya diketahui oleh Allah Jalla Jalaluhu. Jadi bisa disimpulkan ada dua takdir yang harus kita mengerti baik-baik, satu takdir yang kita ketahui yaitu segala sesuatu yang sudah terjadi, dan yang kedua adalah takdir yang hanya Dia Sang Aliimul Khabir yang Tahu.

Seperti yang pernah saya tulis dalam status facebook bahwa “mengikhlaskan adalah jalan satu-satunya bagi ketidaksesuaian takdir yang sudah kita jalani dengan harapan yang kita ingin-inginkan. Berusaha memperbaiki adalah salah satu solusi untuk menyambut takdir yang belum terjalani, sebab semua sudah bertakdir”.Asal mula status itu berkenaan dengan apa yang saya alami baru-baru ini, ada sedikit ketidaksesuaian keinginan saya dengan kemauan Ayah saya dalam sebuah keputusan –agak privasi mungkin untuk di ekspose–. Sudah banyak upaya yang saya lakukan untuk memberi pengertian kepada beliau, namun tetap sia-sia. Akhirnya layaknya orang yang hampir putus asa, saya mencoba menghibur hati, berfikir positif, menyandarkan segala usaha ini kepada Yang Maha Menentukan seraya berharap diberi kekuatan untuk mengihlaskan. walhasil, alhamdulillah saya mulai bisa mengikhlaskan dan bersemangat untuk menyambut dengan lapang dada apa yang akan dilakukan_Nya untuk kehidupan saya di masa mendatang. Jadi tugas kita untuk takdir yang belum kita jalani, tak lebih hanya menyambutnya. Tentu yang namanya menyambut itu butuh persiapan, perbaikan dan perubahan dari yang kemarinnya tidak baik menuju yang lebih baik, dari yang malas menjadi semangat, dari teledor berusaha teliti. Karena memang ranah usaha kita tak lebih adalah hanya untuk persiapan tersebut, yaitu persiapan menyambut takdir yang akan kita jalani nantinya.

Dengan begini kita dapat meminimalisir kemungkinan stress dan saling menyalahkan ketika yang terjadi tidak sesuai dengan harapan. Syekh Ibnu Ata’illah juga sudah mengingatkan bahwa i’timad ‘alal a’maal (menyandarkan segala sesuatu pada usaha) itu dilarang, di awal kitabnya beliau dawuh min ‘alaamaati al-i’timaadi ‘ala al-‘amali nuqshanu ar-rajaa’i ‘inda wujuudi az-zalali (tanda-tanda bergantungnya kita pada usaha adalah kurangnya kita berharap pada Yang Kuasa). Dengan kata lain, ketika kita terlalu bergantung pada usaha kita yang sangat terbatas ini, maka secara tidak sadar harapan kita kepada_Nya semakin berkurang.Ingat, cobaan berupa takdir buruk itu bukan untuk menguji seberapa kuatnya diri kita menghadapinya, melainkan seberapa sabar kita untuk terus meminta pertolongan hanya kepada_Nya. Kemudian diteruskan dengan dawuh beliau yang berbunyi sawabiqu al-himami laa tahriqu aswaara al-aqdaari (sekuat apapun semangat kita tak akan mampu menembus dinding takdir).

Pernah suatu ketika terpampang di beranda facebook saya sebuah status yang memaksa saya berfikir keras. Status itu tak lain milik sahabat saya sendiri, sebut saja Mbah Jagad ¬–bukan nama sesungguhnya–, bunyinya kurang lebih seperti ini “ barang kali Dia –Allah- mentakdirkan bahwa yang menentukan takdir kita adalah diri kita sendiri”. Jika kita berusaha karena sadar bahwa usaha itu merupakan perintah_Nya, maka hal itu tak perlu dikhawatirkan lagi, sebab dengan begitu berarti kita telah mentakdirkan diri kita sesuai dengan perintah_Nya. Intinya, karena lemahnya kita, samarnya kehidupan mendatang, rabunnya kita akan masa depan, maka Allah memerintahkan kita – sebagai makhluknya atau bahkan khalifahnya di bumi – untuk berusaha dan terus berusaha, belajar tidak membuat kerusakan, memperbaiki segala kesalahan yang terlanjur terjadi. Berusaha semaksimal mungkin untuk pantas menyandang gelar khalifah, dan yang perlu digaris bawahi adalah itu semua kita lakukan bukan semata-mata karena mengharap hasil, melainkan karena memang perintah dari Allah Jalla Jalaaluhu. Satu lagi yang harus kita sadari bahwa dengan hak paten_Nya Dia memastikan bahwa segala sesuatu yang baik datangnya dari_Nya dan yang buruk itulah hasil karya kita sendiri.

Golongan yang kedua yaitu golongan yang terlalu mengagung-agungkan usaha, kadang saking enaknya dengan usahanya mereka tak jarang mengorbankan manusia lainnya, teman, kerabat atau bahkan saudara dekat pun haknya mereka embat.Mereka beralasan demi perubahan. Misalnya; demi mencapai kesuksesan yang diharapkan biasanya orang tua sering kali memaksa anaknya untuk melakukan apa yang dia inginkan. Ketika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan anak jadi sasaran kemarahan. Begitu juga dengan seorang atasan dalam sebuah perusahaan, sering kali anak buah dijadikan bulan-bulanan, cacian, hinaan hanya karena sedikit melakukan kesalahan, gara-gara rizki banyak istri menyalahkan suami. Seperti halnya suami yang menyalahkan istri, tak puas dan kemudian cari istri lagi, dan yang lain masih banyak lagi. Yang sangat riskan bahkan dari kalangan pemuka agama – yang gaya berfikir mereka terlalu ekstrim – sering kali menghina saudara-saudaranya yang tak sepaham dengan modal menyitir ayat-ayat yang dipas-paskan sesuai pemikirannya. Terutama yang sering jadi sasaran mereka adalah kaum-kaum sufi, ahli thariqah yang notabenenya sangat wara’, zuhud dan tidak terpengaruh zaman. Mereka berdalih dengan menyitir ayat yang tak asing di telinga kita yaitu “innaLlaha laa yughayyiru maa bi qaumin hatta yughayyiru maa bi anfusihim” yang artinya menurut mereka adalah (sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah nasib mereka sendiri) jika maksudnya seperti ini, sungguh seakan menafikan sifat Allah yang ala kulli syai’in Qadiir Berkuasa atas segala sesuatu. Saking seringnya diucapkan, didalilkan, diobral ke sana kemari akhirnya ayat ini kini seakan ditelanjangi, kehilangan kesakralannya sebagai ayat Al-qur’an yang suci.

Untuk kali ini izinkan saya meminjam pemikiran Gus Mus, dalam bukunya yang berjudul “Membuka Pintu Langit”. Beliau menjelaskan bahwa lafal “maa” dalam ayat itu masih mubham, disamarkan, lalu kenapa seenaknya kita mengartikan dengan makna nasib?. Beliau menekankan bahwa “maa” yang mubham itu diperjelas di ayat lain yaitu surah Al-anfaal ayat 53 “dzalika biannaLllaha lam yaku mughayyiran ni’matan an’amaha ‘alaa qaumin hatta yughayyiru maa bianfusihim” yang artinya; ( [hukuman Allah] yang demikian itu dikarenakan sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah nikmat yang dianugerahkan kepada suatu kaum hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri), jadi makna yang pantas untuk lafal “maa” tersebut bukan nasib melainkan nikmat, yang berarti ayat ini menekankan tentang larangan kita berbuat mungkar hingga berakibat dapat menghilangkan nikmat yang dianugrahkan_Nya untuk kita tersebut. Walhasil, –Allah wa rasuluh a’lam– ayat ini bukan ayat tentang perubahan, melainkan tentang peringatan. Wa minal khitaam, mungkin kiranya mahfudzot atau kata mutiara yang dikeramatkan dalam film Negeri Lima Menara “man jadda wajada” itu perlu untuk ditambah lafal yang sebenarnya sengaja dihilangkan yaitu lafal “bi idznillah” dengan izin Allah. Supaya tak sembarang diartikan dan tak serampangan dipahami oleh masyarakat awam. Wallahu A’lam bis shawaab.

Mulai dari mengamati hujan yang perlahan membasahi mukabumi,
Embun yang istiqamah menemani bunga-bunga hingga terbit matahari,
Matahari yang tak lelah memancarkan cahaya kehidupan yang tak terganti,
Gambaran sedikit tentang kekuasaan Tuhan,
Seperti jadi saksi, manusia tak punya sedikit pun kekuatan,
Tapi diam-diam hati ini merubah segalanya,
Lupa akan segala nikmat_Nya,
Berpikir bahwa diri ini lah yang bisa merubah nasibnya sendiri,
Sekali lagi, Ayat Suci janganlah disalah arti,
Mari kita kaji lebih dalam lagi,
Bukankah banyak yang seakan kontradiksi?
Teringat dawuh Syech Ibnu Atha’illah Assakandari,
Tiada suatu pun nafas hilang dari diri, kecuali lepas karena takdir Ilahi,
Bukankah sudah terlalu banyak bukti??
Sudahlah, kita tak berhak memprediksi Kehendak Gusti,
Yang seharusnya kita pahami, diri ini hanyalah abdi,
Tak lebih,
Dan seorang abdi hanya bisa patuh ketika diperintah,
Dia Tuhan memerintah, dan kita berusaha,
Berusaha bukan karena ingin merubah,
Tapi hanya sekedar menjalankan perintah Ilah,
Karena kita memang seorang abdi,
Selamanya tak akan bisa merubah nasib kita sendiri,
Gustii..
Bagaimana aku akan dapat memutuskan padahal Engkaulah Yang Maha Menentukan, namun Bagaimana aku tidak akan dapat memutuskan padahal Engkaulah Dzat Yang Maha Memerintahkan..


_Huwa Hu_


Oleh : Achmad Chabibi
(Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang)

0 komentar:

Posting Komentar