Selasa 25/06/2013 pukul
22:15 Admin Blog ini meminta saya untuk menyumbangkan karya tulis untuk
diposting ke blog ini.”Apa yang bisa saya tulis?” gumamku. Saya minta mas admin
kalau ia mau, ia bisa melihat catatanku di FB. Tapi sepertinya tidak enak di hati,
gak 'nyes' rasanya, ya sudah, saya buka laptop kucoba untuk merangkai kata,
“mas admin, tau gak sampeyan kalau menulis itu gak gampang” ini seolah-olah aku
ngomong pada admin, di depan mukanya.
Dan saya berpikir beberapa
menit untuk topik tulisan saya. Ya baiklah, saya akan menulis tentang santri.
Pokoknya santri. Entah macam-macamnya, karakternya sejauh saya memikirkannya
pada saat ini.
Santri, saya
bertanya-tanya bagaimana orang-orang kota besar jika melihat santri pada
umumnya?
Pertanyaan ini
terngiang-ngiang saat saya melihat sinetron yang berlatar pesantren di salah
satu stasiun televisi terkenal, setelah saya perhatikan sinetron ini tidak
mengingatkan saya pada kehidupan saya saat nyantri di NH, bayangan saya,
mungkinkah ada Pondok Pesantren seperti ini, yang laki-laki dan perempuan bebas
bertemu, seingat saya dulu dibatasi, bahkan ada takzir untuk hal semacam ini.
Pikiran saya mulai melayang kemana-mana, jangan-jangan ini adalah program untuk
mengerdilkan dan menjelekkan citra santri dan pesantren perlahan-lahan.
Entahlah wallahu ‘alam.
Saya tidak melihat adegan
menghafal, mengaji, dan kegiatan keagamaan yang lain, kalaupun ada hanya
sesaat, yang ditonjolkan adalah adegan laki-laki dan perempuan. Seolah-olah
pesantren itu seperti itu. Sungguh sinetron itu memaksakan sebuah citra yang
kurang tepat, hal ini memungkinkan ke depannya calon santri akan berpikir bahwa
jika saya menjadi santri saya harus seperti itu, itu adalah hal yang benar yang
merupakan budaya pesantren.
Kawan, mari kita jaga
keluarga kita, semestinya kita kritis karena santri dibina untuk kritis dalam
menyikapi berbagai masalah.
Oleh : Achmad Nadzif
“Pacho”,
Mahasiswa Jurusan Bahasa
Inggris, STKIP PGRI Pasuruan
0 komentar:
Posting Komentar