Rabu, 26 Juni 2013


Selasa 25/06/2013 pukul 22:15 Admin Blog ini meminta saya untuk menyumbangkan karya tulis untuk diposting ke blog ini.”Apa yang bisa saya tulis?” gumamku. Saya minta mas admin kalau ia mau, ia bisa melihat catatanku di FB. Tapi sepertinya tidak enak di hati, gak 'nyes' rasanya, ya sudah, saya buka laptop kucoba untuk merangkai kata, “mas admin, tau gak sampeyan kalau menulis itu gak gampang” ini seolah-olah aku ngomong pada admin, di depan mukanya.

Dan saya berpikir beberapa menit untuk topik tulisan saya. Ya baiklah, saya akan menulis tentang santri. Pokoknya santri. Entah macam-macamnya, karakternya sejauh saya memikirkannya pada saat ini.

Santri, saya bertanya-tanya bagaimana orang-orang kota besar jika melihat santri pada umumnya?

Pertanyaan ini terngiang-ngiang saat saya melihat sinetron yang berlatar pesantren di salah satu stasiun televisi terkenal, setelah saya perhatikan sinetron ini tidak mengingatkan saya pada kehidupan saya saat nyantri di NH, bayangan saya, mungkinkah ada Pondok Pesantren seperti ini, yang laki-laki dan perempuan bebas bertemu, seingat saya dulu dibatasi, bahkan ada takzir untuk hal semacam ini. Pikiran saya mulai melayang kemana-mana, jangan-jangan ini adalah program untuk mengerdilkan dan menjelekkan citra santri dan pesantren perlahan-lahan. Entahlah wallahu ‘alam.

Saya tidak melihat adegan menghafal, mengaji, dan kegiatan keagamaan yang lain, kalaupun ada hanya sesaat, yang ditonjolkan adalah adegan laki-laki dan perempuan. Seolah-olah pesantren itu seperti itu. Sungguh sinetron itu memaksakan sebuah citra yang kurang tepat, hal ini memungkinkan ke depannya calon santri akan berpikir bahwa jika saya menjadi santri saya harus seperti itu, itu adalah hal yang benar yang merupakan budaya pesantren.

Kawan, mari kita jaga keluarga kita, semestinya kita kritis karena santri dibina untuk kritis dalam menyikapi berbagai masalah.


Oleh : Achmad Nadzif “Pacho”,
Mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris, STKIP PGRI Pasuruan

0 komentar:

Posting Komentar