Selasa, 27 Agustus 2013



Gema takbir telah disemarakkan oleh masyarakat muslim, lebih dari 1,5 Milyar Muslim di seluruh dunia merasakan berkah karunia Allah SWT melalui bulan Ramadan. Tak terasa datangnya bulan Ramadan berjalan begitu cepat hingga kita hanya melawatinya dengan sekejap. Berbagai kegiatan mulai dari pengajian sorogan, tadarusan, hingga qiyamul lail kita tingkatkan demi meraih berkah selama bulan Ramadan.

Akan tetapi, spirit untuk meningkatkan ibadah pasca bulan Ramadan telah sirna seiring dengan berlalunya bulan Ramadan. Jumlah jamaah yang beribadah di masjid selama Ramadan kini berkurang drastis, pejabat yang berperilaku saleh selama Ramadan kini kembali korupsi, seseorang yang mulanya dermawan terhadap sekitar selama Ramadan kini mulai menutup kantongnya rapat-rapat, penyakit apatisme kepada masyarakat sekitar mulai terjangkit oleh sebagian orang dan tenggelam kepada pekerjaan individual masing-masing. Padahal, bukan demikian tujuan dari bulan suci Ramadan. Bulan Ramadan merupakan penggambaran setahun penuh perilaku seseorang. 

Allah berfirman: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah: 183)

Dalam ayat tersebut, ibadah puasa diharapkan dapat memancarkan energi positif yaitu berupa ketakwaan. Ketakwaan itu diharapkan membawa dampak kemaslahatan dalam kehidupan masyarakat sekitar. Sama seperti halnya ibadah salat yang digambarkan dalam Alquran sebagai pencegah kemungkaran, begitu juga dengan zakat yang diharapkan menjadi perputaran dana yang aktif sehingga dapat mengangkat kemiskinan.

Oleh karena itu tak elok jika memandang puasa hanya dalam sudut pandang para ahli fikih secara tekstualis-literalis, karena itu perlu mengungkapkan makna eksplisit dari ibadah puasa. Puasa bukan hanya menahan makan dan minum akan tetapi puasa adalah upaya untuk menahan perbudakan manusia dari nafsu hewani mereka. Oleh karena itu Alquran menganalogikan bahwasanya orang yang meninggalkan puasa diharuskan untuk memerdekakan budak. Dan juga dalam redaksi ayat lain diharuskan membayarnya dengan puasa di lain waktu.

Menurut Al Ghazali, puasa bukan hanya menahan nafsu makan, minum dan hasrat seksual saja, akan tetapi ia mengklasifikasikan puasa dalam tiga fase kemudian ia menganjurkan untuk fase yang ketiga; Pertama: puasanya orang awam (Shaum Al-umum) puasa yang hanya sekedar menahan makan, minum dan hasrat seksual. Kedua: puasanya orang khusus (Shaum Al-khusus) yaitu menahan telinga, lisan, tangan, kaki dll. Untuk tidak berbuat maksiat. Ketiga: puasanya orang terkhusus (Shaum Al-khusus Al-khusus) yaitu puasa dalam hati, menjaga kesucian nurani dan berdzikir kepada Allah setiap saat.  

Bulan syawal seharusnya menjadi kelanjutan sebagai percikan energi positif dan kontinuitas ibadah dari bulan Ramadan, ibadah tidak seharusnya meredup bagai lilin yang berujung. Akan tetapi ibadah seharusnya bagaikan lampu yang terus bersinar memberi dampak positif sepanjang waktu, bukan hanya dalam bulan Ramadan saja. Tentu dalam beribadah tujuan kita hanyalah Allah semata. Bila kita telah menggantungkan segala ibadah dan amal baik kita kepada Allah, sudah barang pasti kita tak akan memandang waktu dan tempat. Bila Ramadan kita persepsikan untuk lebih menggenjot ibadah kita, tidak ada salahnya. Namun bila bulan Ramadan kita gunakan sebagai waktu tertentu untuk beribadah dan bulan yang lain kita enyahkan dari amal baik, maka sesungguhnya ibadah kita hanya terpaku pada waktu dan bulan tertentu.

Akhirnya, sebagai penutup tulisan ini, penulis ingin menyitir penyataan sahabat Abu Bakar Ra sesaat setelah meninggalnya Rasulullah dan penulis kiaskan pernyataan tersebut pada tema yang kita kaji di atas:
“Barang siapa yang beribadah karena Ramadan, sesungguhnya Ramadan telah meninggalkan kita, dan barang siapa yang beribada karena Allah, sesungguhnya Allah selalu ada dan tak pernah meninggalkan kita.”


Oleh : A. Mustofa Nizam Chasbi,
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo-Mesir

0 komentar:

Posting Komentar