Senin, 26 Agustus 2013


Momen Idul fitri adalah momen penting bagi umat muslim. Semua bergembira menyambutnya. Setelah melewati satu bulan yang penuh dengan kemuliaan dan kemurahan Allah, yang mana diwajibkan kepada seluruh hamba-Nya untuk berpuasa dan dilipat-gandakan seluruh amal ibadah pada bulan tersebut, kini waktunya menyambut hari kemenangan. Hari yang dijadikan momen tepat untuk bermaaf-maafan, bersilaturahim, merefleksikan diri untuk kembali menjadi pribadi yang suci, mengharap penuh ampunan Tuhannya atas segala dosa yang tak terhingga.

Momen ini sering disambungkan dengan kembalinya umat muslim pada sebuah kefitrahan, ia suci seperti bayi yang baru terlahir ke dunia. Dalam Islam, fitrah manusia adalah agama Allah yang menunjuk kepada keesaan-Nya, ibadah kepada-Nya. Tidak sedikit ayat Al quran dan hadis Nabi menjelaskan kefitrahan manusia. Dalam salah satu ayat-Nya, Allah berfirman: 

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ

 وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar Ruum: 30)

Allah juga menjelaskan bahwa pada awal penciptaannya, semua umat manusia sudah bersaksi bahwa Tuhan mereka adalah Allah semata: 

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى

شَهِدْنَا أَنْ تَقُوْلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِيْنَ

”Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)." (QS. A-A’raf: 172)

Memang bukan tanpa alasan hari idul fitri dikaitkan dengan kembalinya manusia kepada fitrah, seperti bayi yang baru terlahir di dunia. Karena dalam salah satu kesempatan, Rasulullah saw bersabda:
من صام رمضان إيماناً واحتساباً غفر له ما تقدم من ذنبه

 “Barang siapa yang berpuasa pada bulan ramadhan dengan kepercayaan bahwa perintah puasa itu dari Allah dan hanya mengharap pahala dari Allah akan diampuni dosanya.” (Muttafaq ‘alaih).

Maka dari itu, umat muslim berlomba-lomba menghidupkan bulan Ramadan, berpuasa, tadarrus, bertarawih, dan ibadah-ibadah serta amal-amal sholih lainnya giat dikerjakan dengan penuh keimanan mengharap pengampunan Allah swt sehingga ketika idul fitri tiba, kita bisa menjadi manusia suci tanpa dosa bagai bayi yang baru terlahir. Namun sebenarnya, banyak yang dilupakan oleh umat muslim ketika menyambut Idul fitri yang berarti telah berhasil melewati Ramadan dengan sempurna. Banyak yang lupa bagaimana mempertahankan predikat fitrah atau suci seperti bayi yang tanpa dosa setelah semua berlalu.

Memang, kita berusaha memperbaiki diri dan ibadah ketika Ramadan. Pun ketika Idul fithri datang, tidak kita sia-siakan, malah kita isi dengan bersilaturrahim dan memohon maaf lahir batin. Tapi apakah setelah itu kita bisa terus menjaga kestabilan kuantitas dan kualitas ibadah kita? Juga dengan silaturrahim dan sikap memaafkan kita? Padahal, ketika Ramadan Allah mewajibkan puasa kepada hamba-Nya, bukan untuk beribadah dan beramal shalih pada bulan itu saja. Tapi jauh di atas itu, Allah menyediakan bulan Ramadan untuk hamba-hamba-Nya supaya bisa meningkatkan kadar ketaqwaan dalam diri, menyempurnakan kembali kualitas dan kuantitas ibadah sampai bertemu Ramadan berikutnya. Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 183: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Inilah yang perlu kembali ditanamakan dalam diri umat muslim. Bahwa Ramadan dan Idul fitri itu bukanlah momen sejenak dalam merefleksikan diri untuk menjadi pribadi suci yang taat beribadah, menyambung ukhuwah dengan silaturrahim, dan sikap salnig memaafkan. Tapi semua itu adalah awal pembelajaran diri untuk kemudian terus menerapkannya pada bulan-bulan dan hari-hari selanjutnya, supaya bisa menjadi hamba yang bertaqwa, menjadi umat Nabi Muhammad saw yang kelak pantas mendapat syafaatnya di hari kiamat.

Akhirnya, Taqabbalallahu minnaa wa minkum waja’alanallahu minal ‘aidin wal faizin wal maqbuuliin… Amin Ya Rabbal Alamin. Itulah doa yang kerap diucapkan dan dipanjatkan para sahabat Nabi dalam menyambut Idul fitri, hari kemenangan yang dipenuhi harapan untuk kembali menjadi pribadi yang suci dan bersih. Dan semoga Allah menerima semua amal ibadah kita pada bulan ramadlan dan bulan-bulan sebelumnya.


Oleh : Atina Balqis Izzah,
Alumni Universitas Al-Ahqaf, Mukalla-Yaman

0 komentar:

Posting Komentar