Jumat, 28 Juni 2013


Beberapa saat yang lalu, ada seorang teman yang mengirim pesan kepada saya melalui inbox Facebook. Ia memberi sebuah link tulisan dan menanyakan apa maksud dari tulisan itu. Setelah saya amati dan baca, ternyata tulisan tersebut mengkritisi pemerintahan Indonesia dan menolak NKRI bersyariah. Penulis mengganggap Pancasila hanyalah kekonyolan yang sengaja dibuat oleh Bung Karno untuk membodohi rakyat Indonesia. Pancasila bukanlah dasar bangsa yang ideal untuk Indonesia. Penulis juga mengajak khalayak agar tidak tertipu dan mengikuti hawa nafsu. Namun yang membuat saya terpingkal-pingkal, di akhir tulisan penulis tidak sama sekali memberikan solusi yang memecahkan ‘masalah’ yang dianggap penulis ‘bermasalah’.

Dengan pedasnya penulis menghujat Pancasila, mencerca Bung Karno, mencemooh Pak Harto, dan menghina Pak Habibi. Menurut saya, penulis ini tidak tahu sejarah dan terima kasih. Bukankah Pancasila lahir dari buah pemikiran tokoh-tokoh Indonesia yang saat juga diwakili dari beberapa agama? Ada Agus Salim dan Wahid Hasyim yang ilmu keislamannya tak lagi diragukan, hadir pula A.A Maramis dari pihak non Muslim. Kalau kita mau mengkaji lebih dalam, tak satu pun dari poin Pancasila yang tercetus tidak bersumber atau bertentengan dengan Al-Quran dan Hadis. Kalau toh ada satu pasal saja yang menyalahi dan tidak sesuai Al-Quran dan Hadis, saya akan pindah kewarganegaraan dari Indonesia.

Rupanya penulis abal-abal itu tidak mempunyai jiwa nasionalisme. Tidak bersyukur hidup di zaman di mana dia, saya dan anda bisa tidur pulas dan tenang. Bisa makan di warung sembari melihat senyum manis seorang gadis yang pulang dari sekolah. Bilamana ia membaca riwayat hidup para pendiri bangsa, niscaya ia tak akan menulis demikian.

Jujur, meskipun saya kecewa telah memilih Presiden SBY, tapi saya tak ingin menelanjangi beliau dengan menghujaninya dengan kata-kata kasar dan tak hormat. Marilah membuka mata dan hati saat memandang masa depan negeri kita. Jangan hanya mengencangkan urat tenggorokan namun bungkam jalan keluar. Beropini sah-sah saja tapi juga mestinya memberikan masukan dan alternatif.

Berikut uraian saya tentang landasan-landasan Pancasila yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis:

1.  Ketuhanan yang Maha Esa
Di sila pertama, para pencetus pancasila menginginkan keimanan pada Tuhan yang Esa, Tuhan yang satu meski tidak menyebut nama Allah secara langsung. Dalam surat Al-Ikhlas tertulis:

قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ  (4

1). Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa 2). Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu 3). Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan 4). Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia

2.  Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Pada sila kedua, Negara Indonesia berasakan sifat kemanusiaan yang Adil dan Beradap dalam artian menjunjung tinggi budi pekerti serta tidak ada perbedaan derajat hak dan kewajiban antara sesama. Nabi Muhammad Saw bersabda bahwa tujuan diutusnya ke bumi ini tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menyempurnakan akhlak:

إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُم

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu” (Surat: Al-Hujuraat ayat 13)

3.  Persatuan Indonesia
Dalam sila ketiga ini, Pancasila mengajak bangsa Indonesia untuk mengedepankan kesatuan dan persatuan. Hal ini sangat sesuai dengan apa yang diwacanakan Islam.

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai…” (Surat: Ali Imran ayat 103)

لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ

Tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang menyeru kepada ashobiyyah (fanatisme golongan). Dan tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang berperang atas dasar ashobiyyah (fanatisme golongan). Dan tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang terbunuh atas nama ashobiyyah (fanatisme golongan).” (HR Abu Dawud 4456)

  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Pancasila menyeru agar mendahulukan musyawarah dan kemufakatan dalam memutuskan keputusan untuk kepentingan bersama. Sahabat Umar saat menjadi Khalifah mempunyai 6 orang Dewan syura, yaitu Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqqas, Abdurrahman bin Auf, dan Thalhah bin Ubaidillah.

Dalam surat Ali Imran ayat 159, Allah berfirman:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ 
وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ  فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ.

Maka disebabkan rahmat dari Allahlah, engkau bersikap  lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (tertentu). Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”

5.  Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Sila terakhir ini menjelaskan bahwa bangsa Indonesia selayaknya untuk tidak berlebih-lebihan dan bermegah-megahan dalam berkehidupan dan selalu bergotong-royong dalam membangun negara demi kebaikan. Dalam surat At-Takatsur, Allah melarang kita untuk berlebih-lebihan.

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ  (1) حَتَّىٰ زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (2) كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (3) ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (4) كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ (5) لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ (6) ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ (7) ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ (8)

1. Bermegah – megah telah melalaikan kalian.
2. sampai kalian masuk kedalam kabur.
3. janganlah begitu!! Kelak kalian akan menhetahui.
4. dan janganlah begitu!! Kelak akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu).
5. Janganlah begitu !! jika kalia mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,
6. niscaya kalian benar – benar akan melihat neraka jahim
7. dan sesungguhnya kalian benar benar akan melihatnya dengan ‘ainul yakin
8. kemudian kalian pasti akan di tanyai pada hari itu tentang kenikmatan.

Juga dalam surat Al-A’raf ayant 31:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ  وَلَا تَعَاوَنُوا علَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ  وَاتَّقُوا اللَّهَ  إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

"Dan tolong-menolonglah kamu dlm (mengerjakan) kebajikan & takwa, & jangan tolong-menolong dlm berbuat dosa & pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya" Surat Al-Mâidah ayat 2

Dalam Sahihnya, Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadis dengan lafalnya yang berbunyi:

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ، وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقاً يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْماً، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طِرِيقاً إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ، يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ، إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

Barangsiapa yang melepaskan seorang mukmin daripada satu kesusahan daripada kesusahan-kesusahan dunia, nescaya Allah akan melepaskannya daripada satu kesusahan daripada kesusahan-kesusahan Qiamat. Barangsiapa yang mempermudahkan bagi orang susah, nescaya Allah akan mempermudahkan baginya di dunia dan di akhirat. Barangsiapa yang menutup ke’aiban seorang muslim, nescaya Allah akan menutup ke’aibannya di dunia dan akhirat. Allah sentiasa bersedia menolong hambaNya selagi mana dia suka menolong saudaranya. Barangsiapa yang melalui suatu jalan untuk menuntut ilmu, nescaya Allah akan mempermudahkan baginya suatu jalan menuju ke syurga. Sesuatu kaum tidak berkumpul di salah sebuah rumah-rumah Allah (iaitu masjid) sambil mereka membaca Kitab Allah dan mengkajinya sesama mereka melainkan suasana ketenangan akan turun ke atas mereka, rahmat akan melitupi mereka dan mereka akan di kelilingi oleh para malaikat dan Allah akan menyebut (perihal) mereka kepada orang-orang yang berada di sisiNya. Barangsiapa yang terlambat amalannya, nescaya nasab keturunannya tidak mampu mempercepatkannya.”

Setidaknya itulah dalil-dalil Al-Quran dan Hadis yang dijadikan landasan dijadikan para pencetus Pancasila untuk merumuskan asas Negara. Sebenarnya amat banyak dan terlalu banyak, namun saya kira dengan ulasan di atas sudah lebih dari cukup. Terima Kasih.


Oleh : Achmad Ainul Yaqin,
Mahasiswa Tingkat III, Jurusan Hadis, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar-Kairo.

6 komentar:

  1. Assalamualaikum,

    Afwan saudaraku, ada kalimat yang kurang bagus disampaikan oleh seorang muslim pada tulisan diatas yaitu ( Bisa makan di warung sembari melihat senyum manis seorang gadis yang pulang dari sekolah ), mohon ditinjau kembali.

    BalasHapus
  2. Saya sependapat dengan saudara penulis bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Al-Quran bahkan poin-poin pancasila sesuai dengan sebagian ayat dalam Al-Quran. Akan tetapi itu hanya SEBAGIAN. Sehingga sebagai seseorang yang beriman kepada Allah SWT maka hanya melayakkan Islam sebagai Ideologinya, bukan yang lainya termasuk pancasila yang hanya mewakili sebagian ayat.

    Terlebih lagi dalam menjadikan pedoman hidup dan dasar hukum, maka hukum Allah SWT lah yang pantas untuk itu. Bukan pancasila maupun UUD yang pada dasarnya adalah buatan hamba ALLAH SWT yang lemah.

    BalasHapus
  3. Sila pertama "KETUHANAN YANG MAHA ESA".

    Asal kata TUHAN berasal dari bahasa sangsekerta hindu Paganisme.

    Artinya:
    TU = KEPALA
    HAN = DEWA
    TUHAN = KEPALA-DEWA.

    Jadi kalimat TUHAN bukanlah nisbat kepada nama Allah-swt.

    Nama-nama Allah-swt di dalam Al-Quran sangat banyak sekali yang di kenal dengan "ASMAUL-HUSNA" (Nama-nama Allah yg terbaik),. Secara umum di ketahui ada 99 nama Allah.

    Allah-swt memerintahkan agar menyebut namanya dengan Asmaul-husna:

    Al Israa'
    قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى
    110. Katakanlah: Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna...."

    Pertanyaannya: "Apakah ada di dalam Asmaul-husna tersebut kata AL-TUHAN???

    Sudah pasti tidak ada...!

    Oleh sebab itulah Allah-swt melarang org-org yg meyakini-Nya menyalahi sebutan Nama-nama Nya.

    Al A'raaf
    وَلِلَّهِ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
    180. Hanya milik Allah asmaa-ul husna , maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam nama-nama-Nya . Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.

    Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan: "Ayat tersebut menyatakan bahwa Allah-swt tidak mau di persekutukan dengan apapun bahkan dalam penyebutan nama-Nya dan jika penyebutan Nama-nama Allah itu salah maka ia telah berbuat SIRIK AKBAR"

    Al-Faatihah
    بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
    1. Dengan HANYA menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

    Lantas bagaimana mungkin Sila: "KETUHANAN YANG MAHA ESA" adalah benar dan sesuai dengan Al-Quran???

    Kenapa sila pertama tidak dengan Bissmillah saja???

    Jadi sangat jelas klw artikel di atas di buat untuk pembodohan terhadap umat islam indonesia.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tuhan dipahami sebagai Roh Mahakuasa dan asas dari suatu kepercayaan.[1] Tidak ada kesepakatan bersama mengenai konsep ketuhanan, sehingga ada berbagai konsep ketuhanan meliputi teisme, deisme, panteisme, dan lain-lain. Dalam pandangan teisme, Tuhan merupakan pencipta sekaligus pengatur segala kejadian di alam semesta. Menurut deisme, Tuhan merupakan pencipta alam semesta, namun tidak ikut campur dalam kejadian di alam semesta. Menurut panteisme, Tuhan merupakan alam semesta itu sendiri. Para cendekiawan menganggap berbagai sifat-sifat Tuhan berasal dari konsep ketuhanan yang berbeda-beda. Yang paling umum, di antaranya adalah Mahatahu (mengetahui segalanya), Mahakuasa (memiliki kekuasaan tak terbatas), Mahaada (hadir di mana pun), Mahamulia (mengandung segala sifat-sifat baik yang sempurna), tak ada yang setara dengan-Nya, serta bersifat kekal abadi. Penganut monoteisme percaya bahwa Tuhan hanya ada satu, serta tidak berwujud (tanpa materi), memiliki pribadi, sumber segala kewajiban moral, dan "hal terbesar yang dapat direnungkan".[1] Banyak filsuf abad pertengahan dan modern terkemuka yang mengembangkan argumen untuk mendukung dan membantah keberadaan Tuhan.[2]

      Ada banyak nama untuk menyebut Tuhan, dan nama yang berbeda-beda melekat pada gagasan kultural tentang sosok Tuhan dan sifat-sifat apa yang dimilikinya. Atenisme pada zaman Mesir Kuno, kemungkinan besar merupakan agama monoteistis tertua yang pernah tercatat dalam sejarah yang mengajarkan Tuhan sejati dan pencipta alam semesta,[3] yang disebut Aten.[4] Kalimat "Aku adalah Aku" dalam Alkitab Ibrani, dan "Tetragrammaton" YHVH digunakan sebagai nama Tuhan, sedangkan Yahweh, dan Yehuwa kadangkala digunakan dalam agama Kristen sebagai hasil vokalisasi dari YHVH. Dalam bahasa Arab, nama Allah digunakan, dan karena predominansi Islam di antara para penutur bahasa Arab, maka nama Allah memiliki konotasi dengan kepercayaan dan kebudayaan Islam. Umat muslim mengenal 99 nama suci bagi Allah, sedangkan umat Yahudi biasanya menyebut Tuhan dengan gelar Elohim atau Adonai (nama yang kedua dipercaya oleh sejumlah pakar berasal dari bahasa Mesir Kuno, Aten).[5][6][7][8][9] Dalam agama Hindu, Brahman biasanya dianggap sebagai Tuhan monistis.[10] Agama-agama lainnya memiliki panggilan untuk Tuhan, di antaranya: Baha dalam agama Baha'i,[11] Waheguru dalam Sikhisme,[12] dan Ahura Mazda dalam Zoroastrianisme.[13]

      Banyaknya konsep tentang Tuhan dan pertentangan satu sama lain dalam hal sifat, maksud, dan tindakan Tuhan, telah mengarah pada munculnya pemikiran-pemikiran seperti omniteisme, pandeisme,[14][15] atau filsafat Perennial, yang menganggap adanya satu kebenaran teologis yang mendasari segalanya, yang diamati oleh berbagai agama dalam sudut pandang yang berbeda-beda, maka sesungguhnya agama-agama di dunia menyembah satu Tuhan yang sama, namun melalui konsep dan pencitraan mental yang berbeda-beda mengenai-Nya.[16]

      Hapus
  4. Coba jelaskan UUD 1945. Apakah sesuai dengan Al-Quran maupun Hadits ??

    BalasHapus